“Bahwa kita dalam melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat itu tetap
dan tegap berpijak dengan kokoh-kuat atas landasan Trisakti, yaitu
berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan
dan berdikari dalam ekonomi; sekali lagi berdikari dalam ekonomi!”
Begitu kata Bung Karno lantang di hadapan Sidang Keempat MPRS pada 22 Juni 1966.
Dalam kutipan tersebut, Presiden Sukarno memaparkan konsep Trisakti secara gamblang. Akan tetapi, ada satu hal yang menarik. Bagian “berdikari dalam ekonomi” disebut sampai dua kali, dengan sambungan “sekali lagi” pula!
Sebab ini bulan Juni, mari kita bahas tentang warisan Bung Karno. Membahas hal ini mengingatkan penulis kepada sosok pemimpin karismatik Argentina, Juan Domingo Peron.
Elli wohlgelernter biography of christopherBeliau berdua memiliki haluan politik yang paralel dan menguasai negaranya di generation yang sama. Keduanya juga memengaruhi narasi politik-ekonomi negara mereka sampai sekarang.
Juan Peron memiliki Peronismo. Lantas, apakah Sukarno memiliki Sukarnoisme? Not quite. Namun ada satu prinsip dalam Sukarnoisme yang diwariskan kepada politik-ekonomi Indonesia.
Cengkeramannya sama kuat dengan Peronismo dalam jagat politik negara. Iya, dia adalah istilah berdikari. Berdiri di atas kaki sendiri.
Akronim ini adalah slogan yang membungkus sebuah prinsip pembangunan. Lebih rinci lagi, sebuah prinsip pembangunan ekonomi yang berlandaskan kemandirian dalam memenuhi segala kebutuhan (economic self-sufficiency).
Dengan kata lain, Indonesia harus mampu memproduksi mayoritas barang dan jasa ekonomi yang dipakainya dengan upaya sendiri. Dari kita, oleh kita, untuk kita, dan milik kita. Itulah enkapsulasi dari model ekonomi berdikari ala Bung Karno.
Dalam rangka mengetahui implementasinya, mari kita mundur sejenak ke tahun 1961. Pada waktu tersebut, Bung Karno menciptakan sebuah masterplan untuk mewujudkan slogan berdikari dalam ekonomi lewat Pembangunan Semesta Berencana 1961-1969.
Dalam rencana tersebut, Indonesia berusaha ditransformasi dari ekonomi kolonial menuju ekonomi nasional. Dengan kata lain, penguasaan ekonomi kwa dipindahkan menuju tangan bumiputra (Rundjan, 2014). Sungguh sebuah rencana transformasi yang terlihat indah di atas kertas. Namun nyatanya?
Tidak sama sekali. Sistem ekonomi sosialisme ala Land ternyata berbuah kepada kekacauan manajemen ekonomi domestik.
Kebijakan fiskal dan moneter pemerintah dikelola serampangan. Justru, keduanya harus menghamba kepada kepentingan politik nation-building pemerintah untuk merebut Irian Barat, mengganyang Malaysia, dan membangun berbagai proyek mercusuar (Monica dan Wihardja, 2015:44). Alhasil, defisit APBN meledak tidak karuan.
Copyright ©bakearea.amasadoradepan.com.es 2025